Kamis, 21 Mei 2009

TERJAJAH DI RANAH SENDIRI



“Jika kalian tidak mujur, itu adalah karena kalian mempunyai terlalu banyak anak, dan perkawinan-perkawinan kalian adalah lebih produktif daripada kerja kalian!” Itu adalah ucapan para kapitalis untuk membuat undang-undang kemiskinan baru di Inggris pada tahun 1843. ini merupakan suatu penindasan terhadap kaum buruh yang mana sistem ini merupakan bentuk keserakahan tanpa batas begitupun yang terjadi di saat ini tengah berjalannya proyek-proyek jalan tol, pabrik-pabrik, mall, gedung-gedung bertingkat, bukan pembangunan dalam rangka membangun sumber daya manusia menuju lebih baik. Sistem ini memperkenalkan kita terhadap imperialisme lama gaya baru. Dimana rakyat digusur dari tanah mereka, meningkatnya kemiskinan di pedesaan, penggusuran warga marjinal kota, pengangguran dalam skala besar, serta perusakan lingkungan dsb. Globalisasi yang menjadi akar permasalahan ini. Singkatnya globalisasi hari ini sudah berarti penjajahan ruang hidup, ideologi yang mereka anut tak lain dan tak bukan adalah laba, menjaring dominasi pasar dan sumber daya, bukan kesejahteraan dan pemerataan keadilan. Tatanan ekonomi yang adil yang mereka kampanyekan lewat manipulasi dan dominasi teknologi informasi, mereka mencitrakan diri mereka sebagai agen yang mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun itu hanya utopia, yang terjadi pada saat ini globalisasi telah menciptakan jurang pemisah antara kaya dan miskin. Masyarakat ini telah terdikte, berada dibawah kontrol modal, berdiri di bawah ketiak kapital, menaruh harapan penuh agar mendapatkan keadilan dan kesejahteraan dari mereka. Bagaimana kaum pekerja dapat memahami filantropi secara tiba-tiba dari kaum manufaktur, hari ini para buruh masih sibuk bertempur melawan Undang-undang delapan jam kerja,yang adalah hari kerja kaum pekerja pabrik bekerja delapan jam!Sampai-sampai upah mereka
Dipotong untuk beberapa persen oleh lembaga penyalur tenaga kerja yang mempunyai kaitan erat (hubungan kerja) dengan perusahaan – perusahaan, serta tidak diberi jaminan sosial atau dana kecelakaan (santunan) saat menjalankan tugasnya. Globalisasi memberikan dampak yang baik dan buruk. Memang kedua sisi tersebut tidak bisa dipisahkan lagi. Namun yang menjadi pertanyaan kami disini adalah mengapa setiap resiko keburukan yang terjadi di negara ini adalah masyarakat marjinal yang menanggung akibatnya? seperti halnya dalam pembangunan pabrik-pabrik
diatas lahan-lahan milik para petani. Seperti contoh kasus pencaplokan tanah milik petani oleh korporasi dengan kawalan TNI dan Polisi, penggusuran warga miskin kota yang menduduki lahan-lahan strategis ekonomi untuk
pembangunan jalan tol. Shoping center, perumahan mewah (tahun 1993), bagaimana ekploitasi sumberdaya alam di Kalimantan, Sumatera Selatan. Serta masih banyak kasus yang kita tidak terungkap.
Memang disatu sisi itu adalah bagian dari pendapatan negara dan daerah, yang dapat mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di negeri ini, namun siapa yang harus menjadi tumbalnya? masyarakat marjinal yang harus menanggung resikonya. Bagaimana perlawanan mereka untuk memperjuangkan haknya? Mereka terus berjuang dibawah ancaman korporat lokal atau asing dengan kawalan TNI dan Polisi. Yang mana perjuangan ini merupakan melawan ancaman dominasi modal yang harus dibayar dengan nyawa demi memperjuangkan atas hak mereka. Ini adalah wujud dari neo-liberalisme, dimana sistem ini mengutamakan proyek pembangunan perusahaan besar, serta masyrakat yang menjadi korban. Bukan persaingan yang adil seperti yang mereka gembor-gemborkan lewat kampanye manipulasi dunia maya dan teknologi. Melainkan memperkuat dinding pemisah antara kaum aristokrat dan kaum proletar.“Baik buruknya keadilan di negeri ini, adalah hasil peradaban manusia, untuk ini sudah selayaknya kita melakukan upaya perubahan agar kita tidak terjajah ditanah sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar